Iyaminne, angkana-kanai bicaranna I Maddi Daeng Rimakka. Apa uruna apa pakarammulana, kere pokokna kere akak malanrakna, kere bunganna kere parekang rappona, na uru niak geak-geak ri Binamu; beserek ri Balandangang.
Panggaukangna minne Karaeng Bodo-bodoa manggaukanga ri Binamu. Pappakontuna I Ballaco Bontotangnga. Sitaba kana I Pada ri Arungkeke, I Ranggong ri Tanatoa, I Cangkiok ri Mannyumbeng, I Rambu Daeng Rimoncong, I Manja Daeng Mannyarang. Angngalle alloi tedongna Karaeng Bontotangnga. Nasamballe tangnga bangngi. Nalontangang danniari. Nanakanre subu-subu.
Pappasaki pole, singarak bangkenna moncong. Nataklannge-rangmi Karaengta Bontotangnga. Nattaoliangmi Maregek Karaeng Bonto. Naik-manaungmi. Susami pakmaikna. Suluk antamakmi. Bussangmi nawa-nawanna. Nasuro kiyokmi Toddok Appaka ri Layu, Lentu, dan Batujala. Suro mappassilayya. Tumalengkongna bicara.
Inilah Kisah yang menuturkan riwayat I Maddi Daeng Rimakka. Apa awalnya apa permulaannya, mana tangkal mana akar meranggasnya, mana kembang mana bakal buahnya, maka bermulalah ricuh di Binamu dan laga di Balandangang.
Adalah perbuatan Karaeng Bodo-Bodoa, pemegang kendali di Kerajaan Binamu. Berdasarkan petunjuk I Ballaco Bontotangnga. Bekerja sama dengan I Pada ri Arungkeke, I Ranggong ri Tanatoa, I Cangkiok ri Mannyumbeng, I Rambu Daeng Rimoncong, I Manja Daeng Mannyarang. Pada siang hari mencuri kerbau milik Karaeng Bontotangnga. Disembelih tengah malam. Dimasak dinihari. Dan disantap subuh-subuh.
Setelah habis bersantap, fajar muncul di kaki bukit. Terdengarlah oleh Karaengta Bontotangnga. Terdengarlah pula oleh Maregek Karaeng Bonto. Naik turunlah [di tangganya]. Galaulah hatinya. Keluar masuk ( di pintunya ). Risaulah pikirannya. Beliau bertitah agar segera dipanggilkan Toddok Appaka: Toddok Layu, Toddok Lentu, Toddok Batujala. Duta penasihat. Para juru bicara.
Sungguh. Manuskrip berbahasa Makassar di atas bukanlah bikin-bikinan saya. Itu saya transliterasi dari naskah sinrilik I Maddi Daeng Rimakka. Naskahnya ada dalam Makassaarsche Chrestomathie oorspronkelijke Makassaarsche Geschriften. Buku itu susunan Dr. Benjamin Frederik Matthes, terbitan tahun 1860, hlm. 357.
Transkripsi dan terjemahan lontarak pada poin 1 saya nukil dari manuskrip lontarak berisikan sinrilik I Maddi Daeng Rimakka. Naskah sinrilik itu termasuk dalam ratusan lontarak yang dikumpulkan oleh Benjamin Frederik Matthes pada kunjungan kerja periode pertamanya, 1848–1858, di Makassar.
Ratusan lontarak itu dikumpulkan, ditelaah, dan dikaji oleh Matthes, kemudian diterbitkan dalam beberapa jilid buku, di antaranya Makassaarsche Chrestomathie oorspronkelijke Makassaarsche Geschriften. Buku itu diterbitkan di Amsterdam pada 1860 oleh C. A. Spin & Soon.
Hanya saja, saya tidak menayangkan secara utuh transkripsi dan terjemahan itu di dalam artikel ini. Cukuplah petikan naskah lontarak berupa sinrilik I Maddi Daeng Rimakka sebagai pemantik haru dan bangga kita kepada leluhur Turatea, sebab mereka memiliki kebiasaan berliterasi melalui lisan dan tulisan. Dengan cara itu, kisah I Maddi Daeng Rimakka tetap bisa tiba di hadapan kita pada hari ini.
Sungguh. Saya juga tidak akan membanding-bandingkan karakter penduduk Jepang yang mengagungkan tradisi leluhur mereka sembari tetap menyerap alir modernisasi. Kepedulian penduduk Jepang atas aksara dan bahasa mereka, contoh saja, sangat patut kita acungi jempol.
Berbanding jauh dengan kepedulian kita terhadap bahasa dan aksara kita sendiri. Orang Jepang bangga berbahasa Jepang, kita malu berbahasa Makassar, apalagi dialek Turatea. Orang Jepang bangga pada aksaranya, kita pelan-pelan lupa cara membaca aksara lontarak.
Namun, sekali lagi, bukan hal itu yang hendak saya daras.
Benarkah I Maddi Daeng Rimakka, yang namanya agung dalam kisahan, yang kisah hidupnya diabadikan dalam sinrilik–sastra lisan Makassar, yang jalan takdirnya kerap dijadikan tamsil bagaimana mempertahankan harga diri, adalah sosok yang benar-benar ada?
Jangan-jangan I Maddi Daeng Rimakka, tokoh muda dari Kerajaan Binamu sekarang masuk dalam wilayah Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan–yang disegani Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone, disegani pula oleh kolonial Belanda, hanyalah tokoh fiksi yang dikarang-karang untuk menggelorakan semangat orang-orang Turatea
(DaengRola)